Bisnis, Hong Kong - Indonesia, India dan Thailand adalah tiga negara yang dinilai paling prospektif di Asia untuk berinvestasi tahun ini. Direktur Pelaksana Riset Ekonomi Asia pada HSBC, Frederic Neumann, menyatakan dalam konteks prospek pertumbuhan ekonomi di Asia, maka Indonesia, India, dan Thailand adalah negara terbaik pada 2017.

“Kesimpulan itu mempertimbangkan sehatnya fundamental ekonomi ketiga negara,” kata Neumann seperti dilansir CNBC, Rabu 4 Januari 2017.

Prediksi tersebut mempertimbangkan dampak pengetatan kebijakan moneter Bank Sentral Amerika Serikat (Federal Reserve/The Fed) yang bakal menaikkan suku tiga kali tahun ini. Sentimen negatif juga karena prediksi perlambatan perdagangan global sebagai akibat kebijakan proteksionisme yang dikampanyekan oleh Presiden terpilih AS, Donald Trump. Menurut Neumann, Indonesia bersama India dan Thailand telah mengantisipasi kondisi tersebut.

“Negara-negara yang tergantung pada ekspor seperti Korea, Taiwan, Singapura, dan bahkan Cina, sepertinya sulit pulih tahun ini,” ungkapnya.

Baca : Tax Amnesty Jadi Sentimen Penggerak IHSG di 2017

Neumann menyarankan agar para investor melihat negara-negara yang ekonominya digerakkan oleh faktor domestik seperti India dan Indonesia. Sebab kedua negara ini memiliki tingkat utang yang relatif rendah, kredit yang positif, dan kuatnya konsumsi domestik. Meskipun HSBC mempertahankan pandangan hati-hati terhadap prospek ekonomi Asia secara keseluruhan, namun Indonesia, India, dan Thailand dinilai sebagai negara dengan prospek paling cerah di kawasan.

Kelvin Tay, Direktur Investasi Regional untuk Asia Pasifik wilayah selatan pada UBS, menyatakan kinerja indeks saham Thailand SET melonjak 20 persen dan merupakan indeks berkinerja terbaik kedua di Asia tahun lalu. Positifnya kinerja bursa saham Negeri Gajah Putih didorong oleh pulihnya harga minyak dunia. Sebab sebanyak 35 persen saham yang terdaftar di bursa negara itu terpapar oleh kenaikan harga minyak.

Baca : Pemerintah Serap Rp 15 Triliun dari Surat Utang

Ekonom Senior Mizuho Bank, Vishnu Varathan, menambahkan para investor lega karena proses suksesi Kerajaan Thailand berjalan baik. Pada Oktober lalu, ada kekhawatiran akan terjadi konflik menyusul kematian Raja Bhumibol Adulyadej dan masa berkabung akan diwarnai perebutan kekuasaan yang berdampak pada ekonomi dan politik.

Sedangkan nilai tukar mata uang Indonesia dan India yang melemah cukup dalam sejak 2013 lalu ketika The Fed pertama kali mengindikasikan akan menaikkan suku bunga, namun kini situasinya relatif stabil. Stabilnya kurs rupiah dan rupee tersebut meskipun kini The Fed memperketat kebijakan moneternya. “Rupiah dan rupee saya perkirakan tidak akan mengalami gejolak seperti pada 2013 lalu,” ujar Neumann.

Kebijakan reformasi perpajakan yang dilakukan Indonesia dan India menjadi favorit di kalangan investor. Presiden Indonesia, Joko Widodo, meluncurkan program pengampunan pajak pada Juli tahun lalu yang telah berhasil mendatangkan penerimaan negara dari uang tebusan sebesar Rp 103 triliun pada akhir Desember 2016. Tambahan penerimaan akan membantu pemerintah untuk merealisasi program pembangunan infrastruktur.

Baca : Sri Mulyani Optimistis Ekonomi 2017 Tumbuh 5 Persen

Tidak berbeda, Perdana Menteri India, Narendra Modi yang memulai program demonetisasi pada November 2016. Dengan program ini, Modi menargetkan untuk mempromosikan pembayaran digital dan menaikkan kas negara.

Ekonom OCBC, Wellian Wiranto, juga memperkirakan pasar modal Indonesia akan mengalami tren kenaikan. “Konsumsi domestik Indonesia menjadi indikator penting untuk mengantisipasi faktor eksternal. Selain itu pemerintah Indonesia telah berhasil menjaga stabilitas kurs rupiah tanpa harus menggunakan langkah-langkah yang membuat pasar khawatir,” ujarnya.

ABDUL MALIK